Minggu, 17 April 2011

propsal praktek kerja lapang

PRAKTEK KERJA LAPANG

PEMBENIHAN IKAN KERAPU TIkus
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi sumberdaya ikan yang sangat melimpah. Dalam pembangunan sektor perikanan selain sebagai penyokong kebutuhan protein hewani bagi masyarakat, juga membuka lapangan kerja, menambah pendapatan masyarakat serta sebagai sumber devisa negara. Bahkan saat ini komoditas perikanan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi karena sebagian besar komoditas perikanan merupakan komoditas ekspor.
( Tampubolon, G.H. dan E. Mulyadi, 1989 ).
Pemanfaatan perairan laut dan pantai Indonesia serta sumberdayanya untuk kegiatan budidaya ikan telah lama dikembangkan dan terus ditingkatkan. Salah satu perairan laut pantai yang menjanjikan prospek yang bagus adalah budidaya ikan kerapu. Beberapa jenis ikan kerapu seperti ikan kerapu tikus (Cromileptis altivelis) potensial untuk dibudidayakan.(Sudirman dan Karim , 2008)
Ikan kerapu termasuk dalam jenis golongan serranidae, tubuhnya tertutup oleh sisik kecil. Kebanyakan biasa hidup pada perairan terumbu karang, adapula yang hidup di muara sungai. Banyak jenis ikan kerapu yang sudah dibudidayakan, termasuk kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang memiliki nilai jual yang tinggi. Di pasaran internasional seperti singapura, Hongkong, Taiwan, Korea selatan dan Jepang harga ikan kerapu akan lebih mahal bila dijual dalam keadaan hidup. Menurut Weber and Beofort, (1940) dalam AHMAD (1991).
Ikan kerapu secara umum dikenal sebagai hewan karnivora yang buas dan rakus, memakan berbagai jenis ikan, krustasea besar dan kadang-kadang juga memakan cepalopoda (cumi-cumi). Seringkali hidup menyendiri dan menyukai naungan sebagai tempat sembunyi. Ikan kerapu lebih suka menghindar dari siar matahari langsung, kecuali sewaktu mencari makan dan saat memijah.
Ikan kerapu adalah jenis ikan laut yang dapat ditemukan di daerah subtropika dan tropika dari seluruh daerah lautan. Kebanyakan species ini tinggal di daerah karang, karang mati atau karang berlumpur. Ikan kerapu ini sering pula ditemukan di daerah pasang dan di laut dengan kedalaman sekitar 40 m (Randall, 1987).
Distribusi geografis ikan kerapu dimulai dari Pasifik Selatan hingga Palau, Guam, New Caledonia dan selatan Australia. Pada bagian timur Samudra Hindia dimulai dari barat Australia dan Nicobars, sedangkan pada kepulauan Indonesia tersebar di Riau, Jawa, Bali, NTB dan Maluku.(Sudirman, 2008)
Ikan kerapu tikus sangat potensial untuk dibudidayakan karena ikan ini memiliki nilai ekonomis yang sangat penting. Namun pasokan benih dari alam sangat terbatas, sehingga penyediaan benih dari suatu unit pembenihan merupakan alternatif yang paling tepat. Rangakaian kegiatan pembenihan ikan kerapu tikus meliputi pengelolaan induk, pemeliharaan larva, produksi pakan alami, pendederan dan penggelondongan.
(Muchari, 1991)
Dari rangkaian kegiatan pembenihan tersebut tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai yang menunjang kelancaran proses produksi. Sarana yang diperlukan dalam proses produksi ikan kerapu tikus tidak terlepas dari skala usaha yang direncanakan.
Suatu unit pembenihan kerapu membutuhkan sarana utama yang meliputi bak induk guna pematangan gonad, bak pemeliharaan larva dan bak produksi pakan alami. Selain sarana utama diperlukan juga sarana pendukung lainnya seperti sistem inlet dan outlet air laut (pompa), sistem aerasi, sistem filtrasi dan peralatan kerja lainnya yang sangat menunjang kelancaran proses produksi.(Ahmad, T. dan Muchari, 1992).













BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Pembenihan Ikan Kerapu Tikus
(Cromileptes altivelis)
Ikan kerapu termasuk dalam jenis golongan serranidae, tubuhnya tertutup oleh sisik kecil. Kebanyakan biasa hidup pada perairan terumbu karang, adapula yang hidup di muara sungai. Banyak jenis ikan kerapu yang sudah dibudidayakan, termasuk kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang memiliki nilai jual yang tinggi. Di pasaran internasional seperti singapura, Hongkong, Taiwan, Korea selatan dan Jepang harga ikan kerapu akan lebih mahal bila dijual dalam keadaan hidup. Menurut Weber and Beofort, (1940) dalam AHMAD (1991), klasifikasi ikan kerapu tikus adalah :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Osteichtyes
Sunclass : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Subordo : Percoidea
Genus : Cromileptes
Spesies : Cromileptes altivelis
Ikan kerapu tergolong jenis ikan air laut yang berjual nilai tinggi, tetapi yang lebih memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kerapu jenis yang lainnya adalah ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Ikan kerapu tikus termasuk dalam famili Serranidae, tubuhnya memanjang gepeng (compressed) dengan panjang tubuh 2,6 – 3,0 kali panjang standard ikan ( panjang standard ikan 12 – 37 cm). Panjang kepala seperempat panjang total, leher bagian atas cekung dan semakin tua semakin cekung. Lembaran operculum mempunyai pinggiran yang bergerigi tajam dan halus. Lubang hidung bagian posterior besar. Pada sirip dorsal memiliki 10 duri keras dan 17 – 19 duri lunak. Sirip punggung semakin melebar kebelakang, sirip perut dengan 3 duri keras dan 10 duri lunak.
Sedangkan sirip ekor memiliki 1 duri keras dan 70 duri lunak, sisik pada lateral line berjumlah 54 – 60 dan pyloric 13. Sisik punggung sangat halus dan licin (Ayson, 1995). Warna ikan kerapu tikus coklat kehijauan dengan dengan bintik – bintik atau bulat – bulat coklat di kepala, tubuh, dan sirip. Bintik – bintik tersebut pada kerapu muda lebih besar dan sedikit, semakin tua bertambah banyak. (Randall, 1987).
Menurut Heemstra dan Randall (1993) seluruh permukaan tubuh kerapu bebek berwarna putih dilengkapi sirip renang berbentuk melebar serta moncong kepala lancip menyerupai bebek atau tikus. Pada kerapu bebek muda, bintik hitam lebih besar dengan jumlah bintik yang sedikit.
2.1.1. Habitat Ikan Kerapu Tikus
Ikan kerapu secara umum dikenal sebagai hewan karnivora yang buas dan rakus, memakan berbagai jenis ikan, krustasea besar dan kadang-kadang juga memakan cepalopoda (cumi-cumi). Seringkali hidup menyendiri dan menyukai naungan sebagai tempat sembunyi. Ikan kerapu lebih suka menghindar dari siar matahari langsung, kecuali sewaktu mencari makan dan saat memijah.
Ikan kerapu adalah jenis ikan laut yang dapat ditemukan di daerah subtropika dan tropika dari seluruh daerah lautan. Kebanyakan species ini tinggal di daerah karang, karang mati atau karang berlumpur. Ikan kerapu ini sering pula ditemukan di daerah pasang dan di laut dengan kedalaman sekitar 40 m (Randall, 1987).
Distribusi geografis ikan kerapu dimulai dari Pasifik Selatan hingga Palau, Guam, New Caledonia dan selatan Australia. Pada bagian timur Samudra Hindia dimulai dari barat Australia dan Nicobars, sedangkan pada kepulauan Indonesia tersebar di Riau, Jawa, Bali, NTB dan Maluku.
2.1.2. Siklus Reproduksi dan Perkembangan Gonad
Ikan kerapu tikus bersifat hermaprodit protogini, yaitu pada perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina dan akan berubah menjadi jantan apabila ikan tersebut tumbuh menjadi lebih besar atau bertambah umurnya. Fenomena perubahan jenis kelamin pada ikan kerapu tikus sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran.
Pada umumnya ikan kerapu bersifat soliter tetapi pada saat akan memijah bergerombol, di perairan Indo Pacifik puncak pemijahan berlangsung beberapa hari sebelum bulan purnama pada malam hari. Dari hasil pengamatan di wilayah perairan Indonesia, musim-musim pemijahan ikan kerapu terjadi pada bulan juni – September dan Nopember – Februari terutama di kepulauan Riau, Karimun Jawa dan Irian Jaya (Sugama, 1995). Perkembangan teknologi terakhir, menunjukkan bahwa dengan perlakuan manipulasi lingkungan dan pemberian pakan induk yang baik serta vitamin secara teratur aktivitas pemijahan ikan kerapu tikus sudah dapat diupayakan sepanjang tahun. Pemijahan juga dapat dilakukan dengan rangsangan hormon HCG dan Puberogen. Fekunditasnya antara 200.000 sampai 300.000 per kg induk, untuk pemijahan baik menggunakan metode manipulasi lingkungan maupun dengan rangsangan hormon.
2.1.3.Perkembangan Larva
Telur fertil berwarna bening atau transparan, melayang di badan air atau terapung di perukaan air dengan diameter telur antara 850 – 950 mikron dan mempunai gelemung minyak dengan diameter 170 – 220 mikron terletak pada bagian posterior, sehingga posisi embryo larva nungging ke bawah. Telur yang telah dibuahi akan mengalami perkembangan lebih lanjut menjadi embryo dan menetes menjadi larva kurang lebih 19 jam sejak telur dibuahi, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan segera berubah warna menjadi keruh atau putih dan mengendap di dasar bak.
Perkembangan sel pertama kali terjadi 40 menit setelah pembuahan, pembelahan sel berikutnya berlangsung setiap 15 – 30 menit sampai mencapai tahap multisel selama 2 jam 25 menit sejak penetasan. Setelah tahap multisel, tahapan berikutnya adalah blastula, gastrula, neurula dan embryo. Gerakan opertama pada embryo terjadi kurang lebih pada jam ke 16 setelah pembuahan, selanjutnya telur menetasmenjadi larva pada sekitar jam ke 19 pada suhu antara 27 – 29 oC. Larva yang baru meneta mempunyai panjang badan total antara 1,69 – 1,79 mm. Mata belum berpigmen, mulut dan anus belum terbuka. Perkembangan berikutnya tubuh semakin panjang, sedangkan kantong telur dan gelembung minyak semakin mengecil. Pembentukan sirip punggung mulauterjadi pada hari pertama. Pada hari kedua sirip dada mulai terbentuk dan jaringan usus telah berkembang sampaike anus. Berikutnya pada hari ketiga mulai terjadi pigmentasi saluran pencernaan bagian atas dan mulut mulai membuka dengan ukuran bukaan sekitar 75 mikron.
Panjang badan total larva ikankeraputikus hampir sama dengan jenis ikan kerapu lainnya seperti ikan kerapu macan (E. Fuscoguttatus), sekitar 1.34 +0,053 mm (Kohno et al., 1990) dan E. Tauvina 1,4 – 1,5 mm (Hussain et al., 1975). Pada waktu larva berunur 1 hari (D-1), saluran pencernaan sudah mulai terlihat tetapimulut dan anus masih tertutup, calon mata sudah mulai terbentuk berwarna transparan hingga larva berumur D-2 bersifat planktonis, bergerak mengikuti arus, sistem penglihatan belum berfungsi serta masih mempunyai kuning telur (yolk sac).
Pigmen melanofor berupa bintik hitam mulai terbentuk pada larva berumur D-3 dan terkonsentrasi di sekitar lambung. Melanofor mulai menyebar ke ventral lambung dan pangkal ekor saat larva berumur D-6. Pada larva berunur D-7 pigmentasi lebih banyak terbentuk pada pangkal ekor. Calon duri sirip dada terlihat pada umur D-9 dan sirip punggung pada umur D-10 dengan panjangtotal badan rata-rata 4,30 mm. Perkembanganbintik hitam yang semakin menebal pad abagian lambung menandakan ikansehat dan berkembang, sebaliknya apabila semakin memudar ikan tidak mau makan dan padaakhirnya akan mati . Dua sirip punggungnampak terlihat dansemakin memanjang pada ikan umur D-11 (Bejo Slamet dkk, 1996).
Perkembangan panjang spina yang menyerupai layang-layang terus berlangsung sampai larva berumur D-20 sampai D-21 dengan panjang total larva rata-rata6,15 mm sdan selanjutnya mereduksi menjadi sirip keras perama pada sirip punggung dan sirip dada. Mereduksinya spina mulai terlihat pada larva sejak umur D-22 sampai D-25 hingga ikan berumur D-30. Selain proses hilangnya spina yang panjang, juga terbentuk piogmentasi pada bagian badan, berupa bintik-bintik yang merata pada tubuh ikan dan mulai terlihat pada umur 25 – 28 hari. Bintik hitam semakin banyak merata di seluruh tubuh menyerupai ikan dewasa hingga benih berumur 45 hari. Pada benih berumur 40 hari panjang total berkisar antara 1,5–2,5 cm.

2.1.4. Pakan dan Kebiasaan Makan Larva
Periode perkembangan larva kerapu tikus sampai tahap metamorfosa sempurna membutuhkan waktu 35 - 40 hari. Setelah menetas sampai dengan hari ketiga larva mendapatkan pasokan makanan secara endogenous yaitu dengan mangabsorpsi kuning telur yang dibawanya, kemudian mulai mendapatkan makanan secara eksogenous pada hari ketiga seiring dengan mulai terbukanya mulut. Sesuai dengan ukuran bukaan mulut, larva kerapu tikus mampu memangsa rotifer (Brachionus plicatilis) dan zooplankton lainnya sebagai pakan pertama dengan ukuran kurang dari 75 mikron. Sebelum pemberian pakan, pada hari pertama sejak larva menetas fitoplankton berupa Chlorella sp. Diberikan pada larva umur D-1. Pemberian fitoplankton bertujuan untuk menjaga kualitas air media pemeliharaan agar tetap baik dan juga sebagai pakan rotifera yang tersisa di dalam bak pemeliharaan.
Peralihan antara mendapatkan pasokan makanan secara endogenous ke eksogenous merupakan fase kritis pertama dalam perkembangan larva, sehingga sering terjadi kematian massal antara 50 – 90%. Kohno et. al., (1990) telah menganalisa sebab-sebab kematian massal pada peralihan pola makan dari endogemous ke eksogenous pada ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) dengan menghitung time leeway yaitu waktu antara larva mulai buka mulut sampai larva mulai bisa memangsa pakan dari luar. Dari hasil analisa didapat penyerapan gelembung minyak terjadi selama 92,5 – 94 jam sejak ditetaskan, penyerapan kuning telur terjadi 71 – 87 jam sejak penetasan, mulai buka mulut 55 jam dan jarak antara waktu larva mulai buka makan sampai semua larva makan adalah 69 – 92,5 jam setelah ditetaskan. Dari hasil analisa tersebut diperoleh time leeway antara -21,5 – 18 jam. Jika time leeway negatif (-21,5) maka hampir dapat dipastikan 90% larva akan mati pada hari ketiga, karena kuning telur sudah terserap habis 71 jam sejak ditetaskan, sedangkan larva baru mulai memangsa pakan dari luar 21,5 jam kemudian yaitu 92,5 jam sejak ditetaskan. Sebaliknya bila time leeway positif (18 jam) maka kemungkinan sebagian besar larva dapat bertahan hidup.
Selanjutnya Muchari (1991) mengutip pendapat Blaxter and Hempal cit Tseng and Chan (1985) kematian yang terjadi pada larva hari kelima dan seterusnya dapat terjadi karena disebabkan oleh fenomena point of no return yaitu suatu keadaan dimana hanya 50% larva yang mampu makan pada kondisi dimana jumlah pakan optimal, sedangkan sisanya tidak lagi mampu memangsa pakan yang tersedia. Point of no return dapat terjadi karena kesalahan dalam menentukan jadwal pemberian pakan dan rendahnya mutu pakan.
Sebagaimana jenis-jenis ikan kerapu lainnya, kerapu tikus bersifat carnivora, terutama memangsa larva moluska (trokofor), rotifer, mikrokrustasea, kopepode dan zooplankton untuk larva; sedangkan untuk ikan kerapu tikus yang lebih dewasa memangsa ikan-ikan kecil, crustacea dan cephalopoda. Menurut Nybakken (1988) sebagai ikan karnivora, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolam air. Kerapu mempunyai kebiasaan makan pada siang dan malam hari dan lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). Berdasarkan perilaku makannya, ikan kerapu menempati struktur topik teratas dalam piramida rantai makanan (Randall, 1987). Sebagai ikan karnivora, kerapu mempunyai sifat buruk yaitu kanibalisme. Kanibalisme merupakan salah satu penyebab kegagalan pemeliharaan dalam usaha pembenihan. Sifat kanibalisme mulai muncul pada larva kerapu umur D-30 penyebab munculnya kanibalisme diantaranya adalah pasokan makanan kurang cukup, sehingga memaksa larva kerapu memangsa larva lain yang ukurannya lebih kecil atau lebih lemah. Dibandingkan ikan kerapu macan dan lumpur, kanibalisme ikan kerapu tikus tidak sebesar dua jenis kerapu tersebut di atas, karena lebar bukaan mulut rata-rata pada kerapu tikus lebih kecil.








2.2. Teknik Pembenihan Ikan Kerapu Tikus
2.2.1. Pengadaan dan Pemijahan Induk
Ukuran calon induk yang baik untuk pematangan gonad minimal 1,5-2,5kg. Induk yang baru datang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru selama 2-20 hari yang ditandai dengan induk mau makan akan diberkan (mustamin, ddk., 2004).
Induk yang telah matang gonad baik jantan maupun betina apabila dikumpulkan dalam satu tempat akan segera memijah. Pemijahan pada dasarnya dapat dibagi menjadi pemijahan alami dan buatan, namun yang sering dilakukan adalah pemijahan alami dengan manipulasi lingkungan atau dengan rangsang hormon. Pemijahan alami dilakukan dengan cara menurunkan air pada pagi hari dan menjelang hari diisi kembali dengan air baru. Penurunan ini bertujuan untuk menaikan suhu 2-3Âșc dan akan terjadi penurunan kembali pada saat diisi air pada sore hari. Kondisi ini diharapkan dapat merangsang tejadinya pemijahan. Suhu sebagai salah satu parameter linkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses produksi (Fujita dan Mustamin ddk. 2004).
Langkah pertama yang dilakukan dalam pemijahan dengan metode ransang horman adalah seleksi induk untuk pematangan gonad. Pemeriksaan induk betina dilakukan dengan metode kanulasi, yaitu memasukan selang kanula/kateter diameter 0,8-1 mm kedalam lubang genital sedalam 4-6 cm lalu dihisap dan dicabut secara perlahan-lahan. Induk yang siap dipijahkan mempunyai telur dengan diameter minimal 450 mikron. Seleksi induk jantan dilakukan dengan cara stripping.induk jantan dipijahkan jika memilki sperma dengan berwarna putih susu dan kental. Perbandingan induk jantan dan betina yang dipijahkan adalah1:2 berdasarkan perbandingan berat. Induk hasil seleksi selanjutnya disuntik menggunakan hormone HCG (Human Chorionic Gonadotropin) atau Pb (Puberogen). Dosis yang digunakan untuk HormonHCG adalah 100 IU/kg induk dan Pbadala 100 RU/kg induk. Apabila pada penyuntikan pertama induk belum memijah dapat dilakukan penyuntikan kedua pada hari berikutnya dengan dosis yang sama (Mustamin, 2004).
2.2.2. pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva merupakan kegiatan utama pada usaha pada usaha pembenihan ikan kerapu dalam menghasilkan benih, pengolahan dalam pemeliharaan larva meliputi : persiapan bak, pemberian pakan baik pakan hidup maupun pakan buatan dan pengelolaan kualitas air media pemeliharaan. Bak pemeliharaan sebelum digunakan harus dicuci bersih dan disterilkan dengan menggunakan kaporit. Penebaran larva dilakukan dengan dua cara, yaitu penebaran telur atau penebaran larva. Larva D1 diberi fitoplankton jenis Nannocloropsis sp. Pemberian fitoplankton dimaksudkan sebagai penetral kualitas air terhadap gas peracun sebagai rotifer yang diberikan pada larva D3. Kepadatan pakan yang diberikan larva D20 adalah 3-6 induvidu ind/ml. rotifer diberikan hingga D20 hari. Pakan buatan mulai diberikan sedikit demi sedikit pada larva D15. Pengelolaan air dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air. Penggantian air semakin meningkat dengan bertambanya umur larva ( sustrisno, ddk).
2.2.3. Teknik Pendederan
Kanibalisme merupakan sifat biologis benih ikan kerapu yang secara alamiah tidak dapat dihilangkan, sehingga perlu diperlukan upaya-upaya mengendalikanya agar dapat menekan angka kematian. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan pendederan terhadap benih sebelum benih digunakan untuk pembesaran, dengan demikian dengan masa-masa krisis dimana sifat kanibalisme timbul, penanganan dapat dilakukan lebih intensif. Beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam pendederan adalah padat penebaran,weaning, grading, sampling, pengelolaan kualitas air dan pakan. Padat tebar benih ukuran 2-3 cm berkisar 1-2 ekor/liter. Weaning adalah salah satu cara untuk mengubah kebiasaan makan benih dari satu jenis pakan ke jenis pakan lain yang akan diberikan selanjutnya. Grading merupakan kegiatan menyeleksi dan memilih-milih benih sesuai ukuranya. Sampling dilakukan dua minggu sekali sebanyak 10%-20%. Pemanena dapat dilakukan setelah benih berukuran 5-7 cm dan biasanya memerlukan 4-5 minggu (putro, ddk., 2004).
2.2.4. Kultur Pakan Alami
Ketersedian pakan alami baik jumlah maupun mutunya sangat menentukan keberhasilan usaha pemeliharaan larva ikan kerapu tikus. Jenis pakan yang digunakan antara lain phytoplankton, rotifer, copepod, artemia dan jambret. Keberadaan phytoplankton selain digunakan untuk pakan rotifer juga sebagai water stability media pemeliharaan (Puja, dkk.,2004).
Pakan alami hingga saat ini masih mutlak diperlukan dalam usaha pembenihan ikan kerapu tikus, terutama dalam pemeliharaan larva. Funsi pakan alami dalam tingkatan tertentu masih belum dapat digantikan oleh pakan buatan, karena kemampuan larva mencerna pakan buatan masiah sangat terbetas. Pakan alami yang diperlukan dalam pembenihan ikan kerapu tikus terdiri atas fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton tidak lansung dimanfaatkan sebagai pakan larva kerapu bebek tetapi sebagai pakan zooplankton. Kulturb fitoplankton maupun zooplankton dimulai dari kultur murni didalam laboratorium, kultur semi missal dan kultur missal yang biasanya dilakukan secara outdoor ( Hermawan, ddk., 2004 )
2.2.5. Hama dan Penyakit
Dalam suatu usaha pembenihan ikan yang intensif dengan padat penebaran tinggi, dengan penggunaan pakan buatan yang sangat besar dapat mengakibatkan terjadinya suatu masalah. Masalah terbesar yang sering dianggap menjadi penghambat budidaya ikan adalah munculnya serangan penyakit. Serangan penyakit yang disertai gangguan hama dapat menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi sangat lambat (kekerdilan), mortalitas meningkat, konversi pakan manjadi sangat tinggi dan menurunnya hasil panen (produksi). (Rukyani, A., 2001)
Ikan yang dipelihara dapat terserang hama dan penyakit karena diakibatkan oleh kualitas air yang memburuk dan malnutrisi. Ikan yang sehat akan mengalami pertumbuhan berat badan yang optimal. Ikan yang sakit sangat merugikan bagi para pembudidaya karena akan mengakibatkan penurunan produktivitas. Oleh karena itu agar ikan yang dipelihara di dalam wadah pembenihan tidak terserang hama dan penyakit harus dilakukan pencegahan. Pencegahan merupakan tindakan yang paling efektif dibandingkan dengan pengobatan, Sebab, pencegahan dilakukan sebelum terjadi serangan, baik hama maupun penyakit, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar.
( Sugama, K., Yuasa, K., 2001,)
Tidak semua penyebab penyakit atau kematian pada ikan kerapu tikus disebabkan oleh organisme patogen, penyebab kematian secra umum pada usaha pemberian kerapu dapat dogolongka menjadi dua, yaitu patogenik dan nonpatogenik. Penyekit nonpatogenik yang terjadi pada ikan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kualitas air, makanan yang tidak memadai , baik mutu, jumlah ukuran dan jumlahnya. Ikan kerapu yang sakit karena faktor patogenik sering terjadi karena ikan terinveksi oleh bakteri virus atau parasit. Penanganan penyakit secara umum melalui tindakan diagnosa, pencegahan dan pengobatan (Kurniastuty, ddk., 2004).

2.2.6. Panen
Kegiatan panen dan paska panen terutama pengangkutan menjadi faktor penentu mutu benih dilokasi pembesaran. Beberap faktor yang perlu diperhatikan guna mendukung keberhasilan panen antara lain persiapan, ukuran dan umur benih, waktu dan cara panen. Ada dua tahap panen dalam usaha pembenihan, yaitu panen benih dari hasil pemeliharaan larva dan panen benih dari hasil pendederan. Transportasi benih yang biasa digunakan ada dua cara yaitu, transportasi tertutup dan terbuka. Pengangkutan secara tertutup merupakan cara paling umum digunakan meskipun dalam jarak dekat dan melalui jalan darat karena cara ini lebih aman dan mudah pelaksanaannya. Pengangkutan yang waktu angkutnya lebih dari 20 jam, sebaiknya dilakukan pengemasan ulang terutama penggantian oksigen. Pengangkutan terbuka digunakan untu jarak deket dan jalan yang ditempuh melalui darat ( Dhoe, dkk., 2004 ).









BAB III

METODOLOGI PKL

3.1. DATA PRIMER
Rencana kegiatan ini dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan partisipasi dalam rangka mencari data primer dan sekunder.
3.1.1. Observasi
Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung obyek yang akan diamati atau dengan perantaraan alat.(Nazir, 1998)
3.1.2. Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi atau tanya jawab secara langsung dengan peneliti yang bersangkutan.
3.1.3. Partisipasi
Partisipasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan ikut serta secara aktif dalam kegiatan persiapan pemijahan, pemijahan dan pemeliharaan larva.Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data secara langsung. Pengumpulan data primer diperoleh dengan cara observasi, partisipasi, dan wawancara di tempat kegiatan Praktek Kerja Lapangan(Nazir,1998). meliputi :
• keadaan umum tempat usaha pembenihan ikan kerapu
• permasalahan dalam usaha pembenihan ikan kerapu.

3.1.4. Analisa Data
Data yang diperoleh dari praktek kerja lapannh ini dibagi menjadi dua yaitu data yang bersifat kualitatif dan data yang bersifat kuantitatif.untuk menghasilkan dat yang berbeda diperlukan cara dan metode yang berbeda pula.
Data yang bersifat kualitatif atau data yang berhubungan dengan aspek teknis mengenai kegiatan pembenihan ikan kerapu tikus akan dianalisa dengan menggunakan analisa diskriptis kualitatif. Analisa kualitatif yaitu metode yang memberikan gambaran secara umum, matematis, vaktual dan valid mengenai data kegiatan(Subagyo, 1997).
Sedangkan Aspek ekonomis akan dianalisa dengan menggunakananalisis deskriptif kuantitatif. Analisa deskriptif adalah metode yang memberikan keadaan yang dinyatakan dengan angka-angka hasil penghitungan. Untuk analisa data aspekekonomis dan teknis menggunakan analisa deskriptif kualitatif.
3.2. DATA SEKUNDER
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain. Pengumpulan data dapat diperoleh dari dari karyawan, perpustakaan, dan literatur-literatur yang berhubungan dengan kegiatan ini.
(machdhoreo, 1987).

DAFTAR PUSTAKA


Anonymous, 1998. Pembenihan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus).
Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. BBL Lampung. Lampung

Anonim, 1993. Petunjuk Pelaksanaan Penangulangan Penyakit Ikan. Direktorat
Sumber Hayati. Ditjen Perikanan. Jakarta.
Hermawan ,A.Ari. K.W., Rusyani, E., dan Marantika, S.A.I,2004. Teknik kultur
pakan hidup dalam Pembenihan Ikan Kerapu. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya laut Lampung. Bandar Lampung.
Dhoe, S.B., Aditya, T.W., dan Supriya, 2004. Teknik panen dan transportasi
dalam pembenihan ikan kerapu. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balau Budidaya laut Lampung. Bandar Lampung.
Machdhhoero, M., Metodologi Penilitian, Universitas Muhammadiyah malang
malang.
Minjoyo, H., Hermawan, A., 2001 Teknologi Produksi Massal benih ikan kerapu
Bebek. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Budidaya Lampung
Husain et al., 1975. On The Culture of Epinephelus tauvina (Forskal). Kwait
Institute Scientific Research. Kwait. 12 p.
Koesharyani, I., Mahardika, K., Sugama, K., Yuasa, K., 2001, Iridovirus
Penyebab Kematian pada Budidaya Kerapu Lumpur Epinephelus coioide : Deteksi dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia, Departemen Perikanan dan Kelautan dan JICA
Moss, B., 1990. Ecology of Fresh Waters. Blackwell Scientific Publication.
London UK.
Muchari, A et al., 1991. Pemeliharaan Larva Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus). Makalah Seminar Marine Fish. Jakarta.
Nonji, 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djembatan. Jakarta

Nybakken, 1988. Biologi laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Jakarta

Palisoc F., 1997., Diseases Agent : Parasite and Pests., Lecture Notes for Training
Course on Fish Health Management, SEAFDEC., Philippines.

Mayunar, 1993. Studi Pendahuluan Perubahan Kelamin Reproduksi Ikan Kerapu
Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Bojonegara. Serang.

Randall, J.E.A., 1987. Preliminary Sinopsys of The Groupers (Perciformes,
Serannidae, Epinipelinae) of The Indo Pasific Region, J.J. Polovina dan S. Ralston (editors). Boulder and London: Tropical Snnaper and Grouper: Biology and Fisheries Management, West view Press. 1987.
Rukyani, A., 2001 Strategi Pengendalian Penyakit Virus pada Budidaya Ikan
Kerapu dalam Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia, Departemen Perikanan dan Kelautan dan JICA
Suriawan A.,., Lilik D., 2002. Penggunaan Basket (Keranjang) Dalam Pendederan
Benih Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Sebagai Upaya Meminimalkan Kematian Akibat Kanibalisme..Balai Budidaya Air Payau Sitobondo.

Suriawan A., Lilik D., 2003 Penerapan Teknik Pendederan Benih Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus) Sebagai Upaya Meningkatkan Pertumbuhan dan Meminimalkan Kanibalisme. Balai Budidaya Air Payau Sitobondo
Sutjiai Murni. 1990. Penyakit Ikan, Nuffic/ Unibraw/ LUM/ Fish. Fisheries
Project. Malang.

Tampubolon, G.H. dan E. Mulyadi, 1989. Sinopsis Kerapu di Perairan Indonesia.
Semarang.




LAMPIRAN

OUTLINE SEMENTARA LAPORAN PKL

JUDUL : PEMBENIHAN IKAN KERAPU TIKUS (Cromileptis altivelis). DI
BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU ( BBAP ) SITUBONDO – JAWA TIMUR
LEMBAR PERSETUJUAN
RINGKASAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
1.4. Tempat
1.5. Waktu
1.6. Materi dan Metode PKL
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Ikan Kerapu Tikus
2.1.1. Klasifikasi Ikan Kerapu Tikus
2.1.2. Morfologi
2.1.3. Penyebaran dan Habitat
2.1.4. Siklus Hidup dan Perkembangan Gonad
2.1.5. Pakan dan Kebiasaan Makan
2.2. Teknik Pembenihan Ikan Kerapu Tikus
2.2.1. Pengadaan dan Pemijahan Induk
2.2.2. Pemeliharaan Larva
2.2.3. Teknik Pendederan
2.2.4. Kultur Pakan Alami
2.2.5. Hama dan Penyakit
2.2.6. Panen
III. METODE PKL
3.1. Partisipasi
3.2. Observasi
3.3. Wawancara
3.4. Analisa Data
IV. HASIL PRAKTEK KERJA LAPANGAN
4.1. Keadaan Umum
4.1.1. Sejara pengelolaan BBAP Situbondo
4.1.2. Letak geografis dan kondisi sekitarnya
4.2. Organisasi dan Tata Kerja
4.2.1. Tugas
4.2.2. Fungsi
4.3. Sarana dan Prasarana
4.3.1. Sarana
a. Bak Pemeliharaan induk
b. Bak Penampung Telur
c. Bak Pembenihan
d. Bak Kultur Chlorella
e. Bak Kultur Rotifer
f. Bak Karantina
g. Tandon Air Laut
h. Tandon Air Tawar
4.3.2. Prasarana
a. Energi Listrik
b. Bangunan
c. Transportasi
4.4. Pemeliharaan Ikan Kerapu Tikus
4.4.1. Pengadaan induk
4.4.2. Pemberian Pakan
4.4.3. Pematangan Gonad Secara Hormonal
4.4.4. Sampling Kematangan Gonad
4.4.5. Pengolahan Kualitas Air
4.4.6. Pencegahan Hama dan Penyakit
4.5. Teknik Pemanenan dan Pembesaran Larva
4.5.1. Pemanenan dan Penghitungan Telur
4.5.2. Persiapan Alat dan Bak Pemeliharaan
4.5.3. Persiapan Media Pemeliharaan
4.5.4. Penebaran dan Penetesan Telur
4.5.5. Penghitungan Derajat Penetesan (HR)
4.5.6. Pemeliharaan Larva
4.5.7. Pemberian Pakan
4.5.8. Grading dan Sampling Pertumbuhan
4.6. Kultur Pakan Alami
4.6.1. Kultur Chlorella Skala Massal
4.6.2. Kultur Rotifer Skala Massal
4.6.3. Kultur Artemia
4.7. Pemanenan
4.8. Pemasaran
4.9. Analisa Usaha Pembenihan Ikan Kerapu Tikus
4.9.1. Investasi
4.9.2. Biaya Tetap dan Variable
4.9.3. Pendapatan
4.9.4. R/C Ratio
4.9.5. Keuntungan
4.9.6. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pelaksana Usaha
4.9.7. Faktor Pendorong
4.9.8. Faktor Penghambat


V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN




















Quisioner


1. Keadaan umum
• Bagaimana sejarah berdiriya usaha pembenihan ikan kerapu tikus ?
• Pertimbangan apa yang mendasari usaha pembenihan Ikan kerapu tikus ?
• Tata letak pembenihan Ikan kerapu tikus ?
• Sarana dan prasarana apa saja yang menunjang usaha pembenihan ikan kerapu tikus ?
2. Keadaan khusus
2.1. Pemeliharaaan Induk
• Bagaimana profil asal usul induk ?
• Bagaimana manajemen seputar pakannya ?
• Parameter kualitas air yang dibutuhkan untuk pemeliharaan induk?
• Ciri-ciri ketika induk siap memijah ?
2.2 Persiapan pemijahan.
• Kualitas air yang dibutuhkan ketika akan memijah?
• Rasio perbandingan induk ?
• Tingkah laku ketika pra pemijahan, pemijahan, dan pasca pemijahan ?
2.3 Perawatan telur dan pemeliharaan larva.
• Bagaimana cara pengontrolan kualitas air ?
• Apakah ada hama penyakit ketika dalam fase telur dan fase larva?
• Bagaimana cara pengamatan dan pengukuran pertumbuhannya ?